Hari itu, ceramah Pak RW usai shalat Subuh terasa berbeda. Pak RW berbicara dalam tempo pelan dengan nuansa lebih lembut dari biasa. Semua terdiam memerhatikannya. Ia punya pengalaman hidup istimewa. Ia baru pulang dari rumah sakit setelah sempat koma lebih dari 24 jam akibat serangan jantung. Banyak jamaah menduga ia akan menceritakan pengalamannya menghadapi saat-saat kritis itu. Ternyata, tidak.
Pak RW justru menyatakan keprihatinannya pada kondisi sosial sekarang. Ia mepaparkan bertambah beratnya beban hidup masyarakat kebanyakan. Kebutuhan sehari-hari semakin mahal. Minyak semakin sulit didapat. Daya beli masyarakat berupa pangan, pendidikan, dan kesehatan semakin melemah. Ringkas kata, ‘hidup semakin sulit’. Dalam iklim demikian, menurutnya, berpikir jernih dan sehat semakin menjadi kebutuhan. Ketika persoalan hidup kian kompleks, tak ada pilihan yang lebih baik buat menghadapinya selain dengan berpikir jernih dan sehat. Maka, berpikir jernih dan sehatlah yang perlu ditumbuhkan di masyarakat. Jika seluruh bangsa ini dapat didorong ke arah sana, kompleksitas persoalan tersebut sedikit banyak akan dapat terurai. ‘Bangsa ini juga akan bergerak maju ke depan, seberat apa pun tantangan ke depan yang menghadang.
Namun, menyemaikan berpikir jernih dan sehat ternyata tak semudah memakan kerupuk. Yang tersemaikan secara cepat justru cara berpikir gampangan berdasar pada budaya instan dan jalan pintas. Pada tingkat tertentu, budaya demikian juga bermanfaat. Setidaknya, untuk membuat kita melupakan sejenak kegetiran hidup. Juga membuat kita terhibur sesaat. Hal yang penting dalam hidup agar tak patah atau terjatuh selamanya. Namun, budaya itu sangat kuat menyeret kita ke dunia mimpi dan mengabaikan realitas sekitar.
Telepon genggam dan televisi adalah medium efektif buat menyingkirkan berpikir jernih dan sehat. Ia tunjuk berbagai program ramalan dan ‘teka-teki’ yang banyak dijajakan lewat TV. Coba lihat iklan yang menyuruh menulis reg spasi nama spasi ramal atau apalah yang menjamur di TV.
Masyarakat tidak diajak untuk berpikir jernih dan bekerja keras mengatasi persoalan hidup. Masyarakat diajak memilih jalan instan buat mengatasi persoalan. Hanya dengan mengirim SMS, kita merasa tahu nasib ke depan. Yang lebih runyam, menurutnya, adalah ‘teka-teki bodoh’, seperti program ‘Acak Kata’ dan sebagainya. Pertanyaannya sama sekali tidak mendidik.
Huruf dari sebuah kata ‘diacak’ sangat gampang agar orang mau mengirimkan jawaban sebanyak-banyaknya lewat SMS. Iming-imingnya hadiah Rp 200 juta. “Itu perjudian yang jauh lebih jahat dibanding SDSB dulu,” ungkapnya. Tak ada kontrol negara, tak ada notaris yang mengundi pemenangnya, tak jelas pula siapa yang mendapat hadiah. Sedangkan, membuang uang dalam perjudian itu begitu gampang karena hanya dengan cara mengirim SMS. Anak-anak muda dari kalangan bawah tergoda menghamburkan uang puluhan ribu rupiah.
Itu hanya salah satu cara meraup uang dari orang-orang susah dengan menggunakan SMS. Banyak cara lain yang juga ditempuh. Misalnya, mengirim ‘petunjuk’ pada siswa SD atau SMP yang bertelepon genggam, seperti ‘jangan pilih jawaban B kalau ujian di hari…’. Lalu, bocah-bocah polos akan menyebarkan ‘petunjuk’ itu pada kawan-kawannya. Atau, bekerja sama dengan televisi dalam berbagai macam lomba idola. Pemirsa didorong untuk mengirim SMS buat memenangkan idola. Bila perlu, sang peserta menjual rumah keluarga buat membiayai pengiriman SMS dukungan bagi dirinya sendiri agar segera sukses menjadi bintang. Hasilnya, terbanting.
“Saya heran, ada yang tega berbisnis dengan membodohi masyarakat lewat SMS begitu?” kata Pak RW lembut. “Saya tidak mengerti bagaimana operator telepon seluler dan pemilik stasiun TV mau memfasilitasi bisnis begitu. Kalau pembodohan itu terus berlangsung dan pemerintah juga tak peduli soal begini, bagaimana masa depan bangsa kita?” Saya terdiam. “Inilah wajah kita saat ini.”
***
Sumber: republika.co.id